Penghapus dan Pensil

pernah denger cerita tentang pensih ama penghapus beloom? wa udah pernah denger cerita itu tapi baru inget sekarang (tau sendiri lah, wa emang pelupa beraaat *tabok)

tapi kok wa jadi inget pelajaran sosio jaman kelas satu ya, hahaha habisnya sama sih cermin diriku bagaikan pensil, gitu kaya buknya, wa ulas sedikit deh tentang pelajaran sosia wa, jadi tuh guru minta muridnya satusatu ngejelasin cermin diriku sebuah pensil, dan apa hubungannya pengapus dan rautan. edaaaan ! tuh guru jan jooos sekali masalah kehidupan yang berlikuliku, wuuuh ulasannya kereeen book. jadi gini :

cermin diriku ialah sebuah pensil (wa radarada lupa nih, jadi kalo wa rada-banyak-salah, ya maklumin aje yeee, namanya juga khilaf *kicked*) -->hahahahaa nah gini, wa ini bagaikan pensil, wa menoreh segala hal dalam hidup wa, jadi wa misalkan kertas itu hidup wa. nah, apapun yang wa torehkan gaselamanya benar, karena manusia itu biangnya kesalahan, betuul? yeeaah.
nah, peran pengahapus itu apa? apalagi kalo bukan menghapus satu demi satu kesalahan kesalahan yang udah wa perbuat, jadi pengahapus itu guna? ya guna bangeeet lah, lalu tokoh penghapus itu diperankan siapa? bisa siapa saja, sahabat, orang tua, atau orang terkasih, bisa juga yang lain. orang orang-penting-itu yang bisa menyadarkan wa dan membantu wa dalam menyikapi berbagai permasalahan hidup, atau membantu wa meluruskan setiap kesalahan yang udah wa perbuat.
lalu peran rautan itu apa? rautan itu mempertajam pensil, tapi fungsi utamanya kalo pensil itu mendadak dangdut bujel, dirautin jadinya lancip lagi deeeh. hahahhaa *bego* nah, dalam hidup, hidup itu gamungkin bakalan seneng terus kan, karena hidup adalah roda melingkar, kadang dibawah dan kadang diatas, saat wa ngalamin seneng pasti ada saatnya wa juga ngalamin duka, saat wa ngalamin sukses wa juga bakalan dinanti yang namanya jatuh. saat wa down dan ngerasa hidup udah gaada apa apanya, disini fungsi rautan muncul, rautan bisa nyemangatin dan ngebuat wa mau bangkit lagi. bisa siapa saja rautan itu diperankan, asalkan memberi masukan yang positif dan membangun wa, bukan malah ngebuat pensil itu sendiri habis.
so penting sekali peran penghapus ama rautan itu bro, kalo punya pensil, jangan lupa beli penghapus ama rautan ! hahahaha *garing*
nah kan, pintar sekali guru sosio ku satu itu, bayangkan ! tiap malam nyekoki dirinya dengan berita berita dimtro dan acara acara politik yang wa sendiri gatau chanelnya apa. hahaha, tiap pagi sarapan koraaan, modiiiiar, jelas aja otak bening

oke wa balik lagi kemasalah awal: nah ceritanya gini (wa COPAS)

dunia ini sempit. Sangat sempit. Teramat sempit sampai terasa nyaris menghimpit tubuhku.

Aku memandangnya. Dia memandangku. Kukembangkan telapak tanganku. Dia juga. Kutempelkan telapak tangan kananku pada telapak tangan kirinya, tapi tak tersentuh. Kami dibatasi sebuah kaca. Aku dapat melihatnya dengan jelas, namun tidak lagi dapat menyentuhnya. Dia bukan milikku lagi. Saat ini dan selamanya.

***

Aku mencintai Artha. Aku sudah menyukainya sejak awal kami bertemu pada ujian pendafaran masuk kampus sekitar tujuh tahun yang lalu. Artha tidak terlalu tampan. Tapi juga tidak jelek. Dia memiliki sepasang bola mata hitam kecoklatan, sepasang alis mata yang tidak terlalu tebal, hidung yang tidak dapat dikatakan mancung, dan bibir tipis yang kemerahan. Wajahnya yang oval dibingkai dengan rahang yang kokoh, dengan lesung pipit di pipi kirinya jika dia tersenyum. Tubuhnya tinggi dengan pundak yang lebar.

Aku sangat, sangat, sangat terpesona padanya. Aku masih ingat dengan jelas ketika pada ujian pendaftaran masuk itu, setengah jam sebelum ujian berakhir aku baru sadar kalau jawaban yang kulingkari dengan pensil 2B pada kertas jawabanku itu terlompat satu. Ada lima puluh soal yang diujikan. Dan ketika aku sampai pada nomor terakhir di kertas soal, aku baru menyadari kalau pada kertas jawabanku, aku baru sampai pada nomor empat puluh sembilan. Setelah kuperiksa ulang, rupanya aku melewatkan soal nomor sembilan, dan menuliskan jawaban nomor sepuluh di soal menjadi nomor sembilan di kertas jawabanku, dan seterusnya. 

Kurogoh-rogoh isi tasku mencari sebuah penghapus dan tidak menemukan benda yang kucari di sana. Itu membuatku panik. Aku duduk dengan gelisah sementara dahiku mulai berkeringat dingin. Aku tidak mau kalau aku sampai tidak lulus ujian masuk karena hal konyol seperti ini. Kulirik kanan kiriku dengan bingung. Aku sudah hampir menangis. Kemudian tiba-tiba dari belakang, seseorang menyentuh pundakku.

“Mau pinjam?” tanyanya. Kulirik mata pengawas yang tertuju pada kami. Lalu secepat kilat aku mengangguk seadanya dan mengambil penghapus itu dari tangannya. Itulah pertama kalinya aku memperhatikannya. Oh, bukan memperhatikan. Tepatnya, aku jatuh cinta padanya.

Tuhan sungguh baik padaku. Pertemuan kami tidak berakhir sampai di sana. Dia membiarkan kami satu kelas, satu organisasi, dan yang terpenting, memiliki satu perasaan yang sama. Empat bulan setelah awal pertemuan kami, Artha memintaku menjadi pacarnya dan membuatku hampir pingsan karena terlalu bahagia.

Artha pacar pertamaku. Dan aku berharap dia juga akan menjadi yang terakhir dalam hidupku. Sampai saat itu tiba. Saat hubunganku dengan Artha yang nyaris empat tahun berakhir begitu saja ketika dia memutuskan untuk pindah ke Jepang dan melanjutkan studinya di sana. Tidak pernah ada lagi kabar yang kudengar dari Artha semenjak kepergiannya. Dia seolah hilang ditelan bumi. Meninggalkanku sendirian digulung kesedihan.

Dua tahun kemudian aku bertemu Arga di perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara tempatku melamar pekerjaan. Pertama kali melihatnya, aku seperti menemukan getaran yang telah lama hilang di hatiku. Matanya sama jernih dengan mata Artha. Senyumnya sama lembut dengan senyum Artha. Cintanya sama tulus dengan cinta Artha yang dulu pernah singgah dalam hidupku. Kubiarkan Arga mencuri tempat Artha dan menambal lubang yang menganga lebar di sana. Juga membiarkan Arga melingkarkan cincin di jari manis kananku malam ini.

Aku menikah dengan Arga.

Yang tidak pernah kusangka adalah aku akan melihat Artha lagi. Setidaknya aku tidak pernah mengira akan bertemu lagi dengan Artha pada malam ini. Malam pernikahanku. Malam di mana aku dengan sah menjadi milik orang lain.

Dunia ini sempit. Sangat sempit. Teramat sempit sampai terasa nyaris menghimpit tubuhku.

Ketika pandangan mata kami bertabrakan, aku dapat membaca kesakitan maha dahsyat yang menggemuruh di kedua bola matanya. Kesakitan yang aku tahu dia tidak berpura-pura. Sepasang mata Artha yang masih sama dengan tiga tahun yang lalu sebelum dia meninggalkanku. Aku hampir menjerit. Hampir berteriak dan memeluk laki-laki yang kini sedang bergerak mendekat dan menyalamiku.

“Selamat ya.” katanya lirih. Suara yang setengah mati kuimpikan selama tiga tahun ini. 

Tapi kekagetanku tidak berhenti sampai di sana. Kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibir Artha, membuat ulu hatiku begitu nyeri seakan dihantam dengan palu godam.

“Kamu akan menjadi kakak iparku yang paling cantik mulai malam ini.” ucapnya dengan menguntai seulas senyum pahit. Mata Artha yang biasa selalu tersenyum lembut, malam ini terlihat basah berkaca-kaca. 

Kutatap punggung Artha yang bergerak menjauh, kemudian dengan segera kualihkan pandanganku dan menatap Arga dengan pandangan tak percaya.

“Kamu punya adik?” tanyaku menahan sakit yang membuat mataku mulai terasa panas tergenang air mata. “Kenapa kamu tidak pernah cerita padaku?”

“Artha maksudmu?” Arga balas bertanya padaku dengan lembut. “Dia adik satu ayah lain ibu denganku. Aku hampir tidak pernah bertemu dengannya. Lagipula dia baru saja pulang dari Jepang malam ini. Ayah yang memintanya untuk datang ke pestaku dan menjemputnya dari bandara langsung kemari. Untung Ayah tidak terlambat datang ke pesta kita.”

Arga tertawa kecil. Tapi aku sudah tidak bisa ikut tertawa lagi. Jawaban Arga membuatku terhenyak. Kugigit bibirku kuat-kuat. Aku sungguh ingin berteriak. Aku ingin memanggil Artha untuk kembali ke hadapanku. Tapi lidahku terasa kelu. Suaraku tercekat entah di mana. Dan pada saat aku menemukan kembali suaraku, Arga telah menggenggam tangan kananku dan meremasnya dengan penuh kehangatan. Aku merasa tubuhku melemas. Aku tidak bisa mengkhianati Arga. Aku sendiri yang telah memutuskan untuk memilih Arga. Aku harus belajar mencintainya sebagaimana dia mencintaiku.

Kuurungkan niatku dan membuang pandanganku dari Arga, sekali lagi melihat Artha yang kini berdiri beberapa belas meter di hadapanku sebelum akhirnya dia berpaling dan berlalu pergi dari pestaku. 

Sekarang aku tahu pasti mengapa mata dan senyum Arga sama persis dengan yang dimiliki Artha....

***

Aku memutuskan untuk mengakui semuanya pada Arga. Kuceritakan semuanya pada Arga mulai dari awal perkenalanku dengan Artha, betapa aku mencintainya, dan betapa aku sangat bahagia menjalin hubungan dengannya selama itu, serta merasa masih mencintainya sampai detik ini sekalipun aku telah menikah. Aku sempat mengira Arga akan mengamuk dan menamparku keras-keras di kamar pengantin kami malam itu. Tapi dia tidak melakukannya. Dia malah memelukku erat-erat dan berbisik dengan lembut di telingaku. Bisikan yang membuat tengkukku berdiri dan menangis begitu terharu.

“Artha akan kembali ke Jepang besok pagi. Temui dia yang terakhir kalinya, Reyn. Supaya kamu dapat melepaskan masa lalumu dan melangkah untuk masa depanmu.”

Arga merenggangkan pelukannya. Kemudian dengan gerakan yang sangat hati-hati, dia mengangkat daguku dan menatap mataku dalam-dalam. Disekanya air mataku dengan sangat perlahan, seakan-akan jika dia mencoba menyentuhku lebih kuat sedikit saja, aku akan retak seperti porselen yang terbanting ke lantai.

“Kamu tahu kenapa kaca spion mobil lebih kecil dari kaca depannya?” tanyanya hangat. “Karena Tuhan menginginkan manusia lebih sedikit melihat ke belakang dan lebih banyak melihat ke depan, Reyn....”

Untaian kalimat Arga yang begitu tulus membuatku terisak-isak seperti orang gila. Separuh karena merasa bersalah padanya, separuh lagi merasa bersalah pada Artha. Tapi di saat seperti ini pun Arga tidak menghakimiku. Dia hanya membiarkanku menangis dalam pelukannya hingga malam kian larut dan aku tertidur di dadanya yang bidang.

***

Kulihat Artha tersentak ketika melihat kehadiranku dan Arga di bandara pagi itu, namun dengan segera dia mencoba menguasai dirinya. Arga mengucapkan salam perpisahan singkat pada Artha dan pamit untuk ke kamar kecil sebentar. Aku tahu Arga sengaja melakukannya dan memberikan waktu padaku untuk berdua saja dengan Artha.

“Sekali lagi, selamat ya.” ujar Artha terbata-bata. “Aku yakin Arga orang yang sangat baik. Dia pasti akan menjagamu lebih daripada dia menjaga dirinya sendiri.”

“Kenapa tiga tahun yang lalu kamu memutuskan pergi dan tidak pernah memberiku kabar sama sekali?” tanyaku tanpa menggubris ucapannya. 

“Karena aku merasa tidak pantas untukmu.” tukas Artha setelah diam sesaat dan kembali membuatku merasa ada garam yang tertabur di lukaku yang belum sembuh. “Kamu tahu pasti aku bukan terlahir dari keluarga berada. Dan ketika aku tahu kalau ternyata ibuku hanya wanita yang dimadu, aku merasa tertampar. Aku merasa hidup mendorongku hingga terjatuh ke jurang yang paling dalam. Kemudian aku memutuskan pergi ke Jepang berkat beasiswa yang kudapatkan dengan susah payah, berusaha memperbaiki hidup dan menata hatiku di sana, sehingga ketika aku kembali nanti, aku bisa memberikan kehidupan yang jauh lebih layak pada ibu... dan tadinya- padamu juga.”

Kukerjapkan mataku yang terasa perih. Sebisa mungkin kutahan air mata yang mendesak keluar dari kedua mataku yang sembab.

“Tapi kurasa aku terlambat.” Bibir tipis Artha tersungging getir. “Kamu sudah menemukan orang lain yang seribu bahkan sejuta kali lebih baik dariku. Dia tidak akan meninggalkanmu seperti yang pernah kulakukan. Dia akan menjagamu seumur hidupmu.”

Aku mencari-cari kebohongan dan kemarahan dalam setiap ucapan Artha dan tidak menemukannya. Dia tulus mengatakannya. Dia ikhlas membiarkanku mengecap kebahagiaan dengan orang lain. Ketulusan yang membuatku merasa kerdil dan egois telah menyalahkannya selama ini.

“Dulu, aku pernah mencintaimu. Sekarang pun sama.” lanjut Artha sederhana. “Tapi dengan cinta yang berbeda. Aku akan menghormatimu sebagai kakak iparku dan juga akan mengunjungimu setiap kali ketika aku kembali ke Jakarta untuk menemui ibu.”

Usai berucap demikian, Artha menarik tangan kiriku dan meletakkan sesuatu di tanganku.

“Jangan buka tanganmu sebelum pesawatku tinggal landas.” ucapnya pelan. 

Kugenggam benda pemberian Artha erat-erat sembari mengikuti langkahnya yang akhirnya memisahkan kami dalam ruangan berbeda karena pesawat yang ditumpanginya akan segera berangkat. Aku memandangnya. Dia memandangku. Kukembangkan telapak tanganku. Dia juga. Kutempelkan telapak tangan kananku pada telapak tangan kirinya, tapi tak tersentuh. Kami dibatasi sebuah kaca. Aku dapat melihatnya dengan jelas, namun tidak lagi dapat menyentuhnya. Dia bukan milikku lagi. Saat ini dan selamanya.

***

Awan putih laksana gulali indah yang menghias langit pagi itu. Seberkas cahaya dan sebuah pesawat yang tampak seperti miniatur, menggores permukaan langit sejauh mataku memandang. 

Dengan tangan yang gemetar hebat, kubuka tangan kiriku yang terkepal memegang pemberian Artha tadi. Mataku terpaku pada sebuah benda kecil di telapak tangan kiriku. Mungkin bukan benda yang istimewa bagi orang lain. Tapi sangat berarti dalam hidupku.

Sebuah penghapus.

Air mataku tumpah.

Berlinang-linang.

***

“Kamu tahu? Kita adalah pensil dan penghapus.” kata Artha seraya membelai rambutku malam itu. Malam pertama ketika dia mengungkapkan perasaannya padaku dan mengajakku makan malam berdua.

“Pensil dan penghapus?” Kutatap wajahnya dan menyatukan alisku dengan pandangan tak mengerti.

“Kamu pensilnya dan aku penghapusnya.” Artha tersenyum begitu lembut dan hampir membuatku meleleh bahagia. “Setiap kali kamu membuat kesalahan, aku yang akan membantumu untuk menghapus setiap kesalahan itu. Meskipun setiap kali aku melakukannya, tubuhku akan terasa sakit dan bagian tubuhku akan terus mengecil, aku bahagia melakukannya. Karena untuk alasan itulah aku diciptakan. Aku diciptakan untuk selalu menjagamu. Aku diciptakan untuk selalu menolongmu di setiap kesalahan yang kamu lakukan dalam hidupmu. Sampai mungkin akhirnya aku akan menghilang dan kamu akan menemukan yang baru sebagai penggantiku….”

***

Pikiranku masih terseret pada kenangan masa lalu kalau saja bukan tepukan pelan di kedua bahuku menarikku kembali ke alam nyata. Aku menoleh sekejab dan mendapati Arga menatapku dengan penuh kasih sayang. 

Aku menarik nafas dalam-dalam sampai paru-paruku terasa penuh. Kubalas tatapan Arga dengan penuh rasa terima kasih yang tak mampu kuwujudkan dalam kata-kata.

Arga menggamit lenganku, kemudian membiarkanku mengikuti langkahnya.

Jalanku masih panjang. Kalau dulu aku pernah melakukan kesalahan, kupastikan aku tidak akan pernah mengulanginya lagi. Aku akan terus melangkah. Dengan Arga di sisiku.

“Sekarang, kamu adalah pensil. Dan aku penghapusnya….” gumamku tulus. Arga menoleh dan mengernyitkan keningnya. “Setiap kali kamu membuat kesalahan, aku yang akan membantumu untuk menghapus setiap kesalahan itu. Meskipun setiap kali aku melakukannya, tubuhku akan terasa sakit dan bagian tubuhku akan terus mengecil, aku bahagia melakukannya. Karena untuk alasan itulah aku diciptakan. Aku diciptakan untuk selalu menjagamu. Aku diciptakan untuk selalu menolongmu di setiap kesalahan yang kamu lakukan dalam hidupmu.”

Kuulang setiap kata-kata yang dulu pernah Artha ucapkan padaku. Tapi aku tidak mengutip kalimat terakhirnya. Aku tidak ingin Arga mencari penggantiku. Karena mulai saat ini, aku tidak akan menghilang darinya….






menurut penggalan kisah diatas, banyak hal yang dapat wa pelajari, ya wa sadar hidup galepas dari kesalahan, lalu apa wa bakalan ngebiarin kertas wa jadi *letek* awut awuta kotor banyak coretan sana sini? engga kan, bakalan ada seseorang dengan sosoknya bagai penghapus yang bakalan ngehapus semua kesalahan demi kesalahan yang udah wa perbuat, hidup wa juga bakalan lebih indah lagi bukan. ya tentu saja.

penghapus rela berkorban menyakiti dirinya sendiri, kehilangan bagian tubuhnya sedikit demi sedikit dengan iklasnya untuk mengahapus kesalahan yang wa buat, ngebantuin wa bertarung dengan seala hal yang bakal wa lalui. dengan jelaga yang wa punya, wa gores perlahan lahan hidup wa, banyak sekali coretan coretan setiap sudut yang wa buat, dan penghapus lah yang bersedia untuk berkonban karena tugasnya untuk menghapus setiap kesalahan kesalahan wa, wa tau itu salah, wa ngebiarin orang lain terluka, 


jika aku bisa menjadi penghapus untukmu sayang :)
rela dan iklas ialah kuncinya
sulit untukku menjadi apapun yang semua orang inginkan
tetapi menjadi penghapusmu ialah hal ter-mudah yang bisa aku lakukan
karena apa?
ya, karena hal mudah itu aku lakukan dengan tulus ikhlas bersamaan kasih
sudah menjadi kodrat ku untuk menghapus setiap sudut-sudut kesalahan yang kamu buat sayang
siap untuk mengorbankan diriku sendiri penuh peluh untuk hapus jelaga hitam
aku tau sayang
kadangkala kamu lelah akan hidup dan lalai 
kamu lakukan kesalahan, kadangkala tak sengaja, kadangkala tanpa berfikir panjang dengan apa yang kamu gores pada hidupmu sendiri
aku, aku sayang
aku akan terburu buru untuk menghapusnya, 
menghapusnya dari bagian tubuhku sendiri
aku hilangkan jejak kesalahanmu, aku pikir agar kamu tidak terjebak pada kesalahan yang sama
jerat itu biar aku saja yang menghapusnya sayang
tidak menjadi masalah buatku jika harus kubayar dengan bagian tubuhku sendiri
asal kamu bisa menorehkan jelaga emas dalam hidupmu kelak
aku bersedia sayang, karena aku senang melakukannya
jika sudah saatnya
pasti aku akan meninggalkanmu
bukan karena aku lelah, tapi takdir yang berkata untuk itu
waktu membuatku semakin kecil dan mengecil bersamaan dengan segala jelaga hitam yang kamu buat
aku mengecil dan semakin kotor, peluh sudah berganti keruh
aku akan habis sayang, satu dua jelaga hitam lagi yang sanggup aku hilangkan
kamu sudah tidak bisa menggunakanku lagi
maafkan aku
aku tak bisa lagi menemanimu dan menghapus jelaga hitam mu
tapi kamu masih bisa mencari penghapusmu lagi kelak
karena hidupmu masih panjang dan kamu sudah berjanji padaku
kamu akan menorehkan jelaga emas untukku suatu saat nanti









0 Response to "Penghapus dan Pensil"

Post a Comment